Kamis, 22 Maret 2012

Poligami Dalam Kecamata Historis dan Al-Qur'an

Prolog
Islam merupakan agama multidimensi yang mempunyai konstitusi serta pranata sosial yang lengkap dan komprehensif. Tidak satupun ruang kehidupan manusia, baik hal kecil serupa perkara bersuci dan beristinjak, maupun hal-hal besar seperti urusan kenegaraan dan hubungan internasional kecuali Islam datang mengaturnya. Tak terkecuali persoalan pernikahan dan segala urusan yang berkait-kelindan dengannya. Adapun tulisan ini akan mencoba untuk mengulas sedikit tentang bagaimana pandangan al-Qur’an dalam membaca persoalan poligami.

Isu poligami menjadi wacana yang sering dibicarakan akhir-akhir ini, terlebih bagi para aktifis gender yang menganggap bahwa poligami adalah salah satu bentuk syariat Islam yang bias gender dan melanggar hak-hak perempuan. Mereka menganggap bahwa praktek poligami itu sebenarnya didorong oleh nafsu belaka sebagai bentuk superioritas kaum adam terhadap kaum hawa. Sehingga praktek poligami menurut mereka adalah salah satu bentuk dari eksploitasi hak-hak perempuan dalam hal rumah tangga. Padahal kalau dilihat dari kecamata historis, munculnya syariat untuk berpoligami adalah sangat logis dan beralasan. Dan keterangan mengenai hal itu sangat masyhur dalam kitab-kitab tafsir, khususnya ketika membahas tafsiran ayat ke-3 dari surah al-Nisa yang menjadi dasar hukum kebolehan poligami.

Diantara sebab-sebab itu adalah banyaknya para suami yang syahid dalam perperangan menegakkan agama Islam di awal perkembangannya. Sehingga istri dan anak-anak mereka terlantar tanpa ada yang mengurusi. Oleh sebab itu muncullah syariat untuk berpoligami dengan tujuan untuk menyelamatkan para janda-janda tersebut. Sementara itu, praktek poligami inipun telah dipraktekkkan langsung oleh Rasulullah SAW dengan orientasi seperti di atas. Dan yang perlu ditekankan disini bahwa keputusan rasul untuk berpoligami tersebut tidak muncul dari hawa nafsu beliau semata, namun berdasarkan perintah langsung dari Allah SWT. Sehingga tak heran, 10 dari 11 istri beliau adalah janda. Hanya Sayyidah Aisyah lah satu-satunya istri beliau yang dinikahi dalam kondisi perawan.

Jadi dapat dipahami bahwa poligami pada saat itu adalah sebuah solusi dan kebijakan agama Islam dalam usaha membantu kaum hawa yang terlantar akibat kematian suami. Praktek itupun baru diperbolehkan jika seseorang laki-laki mampu memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan syariat seperti harus bersikap adil terhadap istri-istri tersebut, tidak lantaran hawa nafsu belaka, serta syarat-syarat lainnya. Sehingga bagi mereka yang tidak sanggup memenuhi persyaratan tersebut, maka tidak dianjurkan untuk melakukannya, karena hanya akan menyakiti perempuan yang akan/sudah dinikahinya.

Sebagai pengantar tulisan ini, penulis akan memaparkan terlebih dahulu beberapa hal yang berkaitan dengan istilah poligami. Hal ini bertujuan supaya kita bisa mengetahui istilah-istilah dasar yang nantinya akan ditemui dalam tulisan ini.
  1. Nikah. Secara etimologi nikah berarti bergabung dan bercampur. Sedangkan secara terminologi adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang wanita dengan pria sebagai sepasang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga sakinah, mawadah dan warahmah, dengan menaati segala perintah Allah dan Rasulnya. Dan pernikahan ini dianggap sebagai sebuah ibadah yang sangat besar pahalanya, dengan syarat dilakukan sesuai dengan syariat yang ada. 
  2. Poligami yaitu ikatan perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan memiliki atau mengawini beberapa istri (maksimal 4 orang) dalam waktu yang bersamaan. 
  3. Adil. Adil disini mempunyai pengertian bahwa bagi mereka yang berpoligami harus berlaku adil terhadap istri-istrinya, baik dari segi pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah dan batiniyah.
Dalil dan Sejarah Singkat Kebolehan Poligami
Dalil mengenai praktek poligami dalam al-Qur’an terdapat dalam surah al-Nisa’ ayat 3, yang artinya sebagai berikut : “Dan apabila kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai sebanyak dua, tiga, atau empat. Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau budak yang kamu miliki, hal itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya”

Sababun Nuzul dari ayat tersebut adalah pada saat terjadinya perang Uhud, banyak korban yang berjatuhan dari pihak muslim. Sebagai akibatnya adalah banyaknya anak yatim, janda, dan tawanan perang yang terlantar lantaran kehilangan suami atau bapak mereka. Untuk memelihara mereka dari perbuatan yang tidak diinginkan, Allah SWT membolehkan muslim yang mampu untuk menikahi mereka. Tetapi jika mereka merasa tidak sanggup memelihara harta anak yatim tersebut, maka Allah memperkenankan mereka untuk mencari wanita lain untuk dinikahi dengan jumlah maksimal sebanyak empat orang saja.

Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dijelaskan bahwa pada waktu itu ada seorang laki-laki yang mempunyai anak/yatim dan ia langsung bertindak sebagai walinya. Anak yatim tersebut mempunyai harta yang lumayan banyak, maka Nabi SAW berkata terhadap laki-laki tersebut “jangan nikahi mereka karena mengharapkan hartanya, lalu ia disakiti dan disia-siakan kesehatannya. Karena itu, jika takut tidak berlaku adil terhadap anak yatim itu, kawinilah perempuan lain dan perbolehkan ia membatalkan niat untuk kawin dengan anak yatim tersebut”.

Menurut pakar tafsir kenamaan Imam Ibnu Katsir, seandainya ada perempuan yatim dalam perlindungan laki-laki dan ia khawatir tidak dapat memberikan mahar yang memadai untuknya, maka hendaklah ia mencari perempuan lain selain yatim tersebut dan Allah tidak akan mempersulit urusan seseorang dengan sesuatu yang diluar kesanggupannya. Sementara itu Hamka dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat 3 dari surat al-Nisa’ ini mempunyai korelasi dengan ayat sebelumnya yaitu tentang pemeliharaan anak yatim.

Pada ayat ke-2 dijelaskan dan diperingatkan bahwa jangan sampai ada penganiayaan dan perlakuan curang/tidak adil terhadap anak yatim, karena itu merupakan dosa yang sangat besar. Manakala dia tidak mampu untuk menjalankan amanah dalam merawat harya anak yatim tersebut dengan menikahinya misalnya, maka diperbolehkan baginya untuk menikahi perempuan lain sampai 4 orang. Selain itu ayat diatas juga bertujuan untuk mencegah seorang laki-laki untuk menikahi wanita-wanita yatim dengan memberikan mahar secara tidak adil kepada mereka.

Permasalahan sekarang adalah unsur keadilan yang sangat susah diterapkan, sehingga Allah menurunkan Surah Al-Nisa’ ayat 129 : “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cendrung (kepada yang kamu cintai)”

Ayat di atas menjadi sasaran  empuk oleh orang barat atau non muslim untuk menjatuhkan orang islam, sehingga mereka dapat menodai syariat-syariat islam. Padahal mereka mengetahui bahwa poligami merupakan relitas yang telah ada di dalam semua ajaran semua agama sebelum islam, bahkan mereka mngetahui secara pasti bahwa dalam islam lebih ringan dibandingkan dengan agam-agama lainnya yang tidak terbatas dan tidak memiliki spesifikasi standar.

Menurut Ibnu Katsir, seandainya seseorang khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya dan takut berbuat zhalim terhadap mereka, maka sebaiknya dia menikahi satu orang saja atau dengan beberapa budak perempuan yang ada dalam kekuasaan seseorang. Sebab pemberian giliran terhadap budak bukan suatu kewajiban, namun hanya merupakan kebolehan semata. Tetapi pada masa sekarang, perbudakan telah dihapuskan hukumnya. Maka oleh karena itu, seandainya seseorang tidak sanggup berbuat adil maka cukup menikahi seorang wanita saja.

Sedangkan menurut Hamka, adil dalam ayat di atas adalah dalam tinjauan materi. Adapun keadilan yang berkaitan dengan hati, maka hal itu merupakan perkara yang sangat sulit sekali. Dan hal ini juga pernah ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan lain-lain. Kemudian ayat ini juga merupakan sebuah peringatan halus sekaligus bimbingan rohani yang murni buat para lelaki yang berniat untuk berpoligami. Karena hal itu bisa saja menjadi solusi bagi mereka yang memang mampu dan butuh terhadap poligami tersebut.

Sehingga sebagai kesimpulan tulisan, poligami hanya diperbolehkan bila dalam keadaan dhorurah, misalnya seorang istri mengalami kemandulan atau penyakit lainnya. Menurut Islam anak meupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat bermanfaat bagi manusia setelah mereka meinggal dunia. Maksudnya adalah amalnya tidak akan tertutup keberkahannya manakala ia mempunyai keturunan yang saleh dan selalu mendoakannya. Maka dalam keadaan ini suami boleh berpoligami.
Semoga bermanfaat..!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar