Prolog
Islam merupakan agama multidimensi yang mempunyai konstitusi serta
pranata sosial yang lengkap dan komprehensif. Tidak satupun ruang kehidupan
manusia, baik hal kecil serupa perkara bersuci dan beristinjak, maupun hal-hal
besar seperti urusan kenegaraan dan hubungan internasional kecuali Islam datang
mengaturnya. Tak terkecuali persoalan pernikahan dan segala urusan yang berkait-kelindan
dengannya. Adapun tulisan ini akan mencoba untuk mengulas sedikit tentang
bagaimana pandangan al-Qur’an dalam membaca persoalan poligami.
Isu poligami menjadi wacana yang sering dibicarakan akhir-akhir
ini, terlebih bagi para aktifis gender yang menganggap bahwa poligami adalah
salah satu bentuk syariat Islam yang bias gender dan melanggar hak-hak
perempuan. Mereka menganggap bahwa praktek poligami itu sebenarnya didorong
oleh nafsu belaka sebagai bentuk superioritas kaum adam terhadap kaum hawa. Sehingga
praktek poligami menurut mereka adalah salah satu bentuk dari eksploitasi
hak-hak perempuan dalam hal rumah tangga. Padahal kalau dilihat dari kecamata
historis, munculnya syariat untuk berpoligami adalah sangat logis dan
beralasan. Dan keterangan mengenai hal itu sangat masyhur dalam kitab-kitab tafsir,
khususnya ketika membahas tafsiran ayat ke-3 dari surah al-Nisa yang menjadi
dasar hukum kebolehan poligami.
Diantara sebab-sebab itu adalah banyaknya para suami yang syahid
dalam perperangan menegakkan agama Islam di awal perkembangannya. Sehingga
istri dan anak-anak mereka terlantar tanpa ada yang mengurusi. Oleh sebab itu
muncullah syariat untuk berpoligami dengan tujuan untuk menyelamatkan para
janda-janda tersebut. Sementara itu, praktek poligami inipun telah dipraktekkkan
langsung oleh Rasulullah SAW dengan orientasi seperti di atas. Dan yang perlu
ditekankan disini bahwa keputusan rasul untuk berpoligami tersebut tidak muncul
dari hawa nafsu beliau semata, namun berdasarkan perintah langsung dari Allah
SWT. Sehingga tak heran, 10 dari 11 istri beliau adalah janda. Hanya Sayyidah
Aisyah lah satu-satunya istri beliau yang dinikahi dalam kondisi perawan.
Jadi dapat dipahami bahwa poligami pada saat itu adalah sebuah
solusi dan kebijakan agama Islam dalam usaha membantu kaum hawa yang terlantar
akibat kematian suami. Praktek itupun baru diperbolehkan jika seseorang laki-laki
mampu memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan syariat seperti harus
bersikap adil terhadap istri-istri tersebut, tidak lantaran hawa nafsu belaka,
serta syarat-syarat lainnya. Sehingga bagi mereka yang tidak sanggup memenuhi
persyaratan tersebut, maka tidak dianjurkan untuk melakukannya, karena hanya
akan menyakiti perempuan yang akan/sudah dinikahinya.
Sebagai pengantar tulisan ini, penulis akan memaparkan terlebih
dahulu beberapa hal yang berkaitan dengan istilah poligami. Hal ini bertujuan
supaya kita bisa mengetahui istilah-istilah dasar yang nantinya akan ditemui
dalam tulisan ini.
- Nikah. Secara etimologi nikah berarti bergabung dan bercampur. Sedangkan secara terminologi adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang wanita dengan pria sebagai sepasang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga sakinah, mawadah dan warahmah, dengan menaati segala perintah Allah dan Rasulnya. Dan pernikahan ini dianggap sebagai sebuah ibadah yang sangat besar pahalanya, dengan syarat dilakukan sesuai dengan syariat yang ada.
- Poligami yaitu ikatan perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan memiliki atau mengawini beberapa istri (maksimal 4 orang) dalam waktu yang bersamaan.
- Adil. Adil disini mempunyai pengertian bahwa bagi mereka yang berpoligami harus berlaku adil terhadap istri-istrinya, baik dari segi pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah dan batiniyah.
Dalil dan Sejarah Singkat Kebolehan Poligami
Dalil
mengenai praktek poligami dalam al-Qur’an terdapat dalam surah al-Nisa’ ayat 3,
yang artinya sebagai berikut : “Dan apabila kamu khawatir tidak dapat berlaku
adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai
sebanyak dua, tiga, atau empat. Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil,
maka nikahilah seorang saja atau budak yang kamu miliki, hal itu lebih dekat
untuk tidak berbuat aniaya”
Sababun Nuzul dari ayat tersebut adalah pada saat
terjadinya perang Uhud, banyak korban yang berjatuhan dari pihak muslim. Sebagai
akibatnya adalah banyaknya anak yatim, janda, dan tawanan perang yang terlantar
lantaran kehilangan suami atau bapak mereka. Untuk memelihara mereka dari
perbuatan yang tidak diinginkan, Allah SWT membolehkan muslim yang mampu untuk
menikahi mereka. Tetapi jika mereka merasa tidak sanggup memelihara harta anak
yatim tersebut, maka Allah memperkenankan mereka untuk mencari wanita lain
untuk dinikahi dengan jumlah maksimal sebanyak empat orang saja.
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dijelaskan
bahwa pada waktu itu ada seorang laki-laki yang mempunyai anak/yatim dan ia
langsung bertindak sebagai walinya. Anak yatim tersebut mempunyai harta yang
lumayan banyak, maka Nabi SAW berkata terhadap laki-laki tersebut “jangan
nikahi mereka karena mengharapkan hartanya, lalu ia disakiti dan disia-siakan
kesehatannya. Karena itu, jika takut tidak berlaku adil terhadap anak yatim
itu, kawinilah perempuan lain dan perbolehkan ia membatalkan niat untuk kawin
dengan anak yatim tersebut”.
Menurut pakar tafsir kenamaan Imam Ibnu Katsir, seandainya ada
perempuan yatim dalam perlindungan laki-laki dan ia khawatir tidak dapat
memberikan mahar yang memadai untuknya, maka hendaklah ia mencari perempuan
lain selain yatim tersebut dan Allah tidak akan mempersulit urusan seseorang
dengan sesuatu yang diluar kesanggupannya. Sementara itu Hamka dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa ayat 3 dari surat al-Nisa’ ini mempunyai korelasi dengan ayat sebelumnya
yaitu tentang pemeliharaan anak yatim.
Pada ayat ke-2 dijelaskan dan diperingatkan bahwa jangan sampai ada
penganiayaan dan perlakuan curang/tidak adil terhadap anak yatim, karena itu
merupakan dosa yang sangat besar. Manakala dia tidak mampu untuk menjalankan
amanah dalam merawat harya anak yatim tersebut dengan menikahinya misalnya,
maka diperbolehkan baginya untuk menikahi perempuan lain sampai 4 orang. Selain
itu ayat diatas juga bertujuan untuk mencegah seorang laki-laki untuk menikahi
wanita-wanita yatim dengan memberikan mahar secara tidak adil kepada mereka.
Permasalahan sekarang adalah unsur keadilan yang sangat susah diterapkan,
sehingga Allah menurunkan Surah Al-Nisa’ ayat 129 : “dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat
ingin demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cendrung (kepada yang kamu
cintai)”
Ayat di atas menjadi sasaran
empuk oleh orang barat atau non muslim untuk menjatuhkan orang islam,
sehingga mereka dapat menodai syariat-syariat islam. Padahal mereka mengetahui
bahwa poligami merupakan relitas yang telah ada di dalam semua ajaran semua
agama sebelum islam, bahkan mereka mngetahui secara pasti bahwa dalam islam
lebih ringan dibandingkan dengan agam-agama lainnya yang tidak terbatas dan
tidak memiliki spesifikasi standar.
Menurut Ibnu Katsir, seandainya seseorang khawatir tidak dapat
berlaku adil terhadap istri-istrinya dan takut berbuat zhalim terhadap mereka,
maka sebaiknya dia menikahi satu orang saja atau dengan beberapa budak
perempuan yang ada dalam kekuasaan seseorang. Sebab pemberian giliran terhadap
budak bukan suatu kewajiban, namun hanya merupakan kebolehan semata. Tetapi
pada masa sekarang, perbudakan telah dihapuskan hukumnya. Maka oleh karena itu,
seandainya seseorang tidak sanggup berbuat adil maka cukup menikahi seorang
wanita saja.
Sedangkan menurut Hamka, adil dalam ayat di atas adalah dalam
tinjauan materi. Adapun keadilan yang berkaitan dengan hati, maka hal itu
merupakan perkara yang sangat sulit sekali. Dan hal ini juga pernah ditafsirkan
oleh Ibnu Abbas dan lain-lain. Kemudian ayat ini juga merupakan sebuah
peringatan halus sekaligus bimbingan rohani yang murni buat para lelaki yang
berniat untuk berpoligami. Karena hal itu bisa saja menjadi solusi bagi mereka
yang memang mampu dan butuh terhadap poligami tersebut.
Sehingga
sebagai kesimpulan tulisan, poligami hanya diperbolehkan bila dalam keadaan dhorurah,
misalnya seorang istri mengalami kemandulan atau penyakit lainnya. Menurut
Islam anak meupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat
bermanfaat bagi manusia setelah mereka meinggal dunia. Maksudnya adalah amalnya
tidak akan tertutup keberkahannya manakala ia mempunyai keturunan yang saleh
dan selalu mendoakannya. Maka dalam keadaan ini suami boleh berpoligami.
Semoga bermanfaat..!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar